VISI PAROKI:

Gereja Umat Allah yang dengan bimbingan Roh Kudus terus menerus membangun persekutuan sehati sejiwa, yang berpusat pada Yesus Kristus; berakar dalam komunitas jemaat Lingkungan, beriman mendalam, kokoh, dewasa, misioner dan memasyarakat

25 September 2008

KWI: Sebaiknya DPR Tidak Mengesahkan

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam pernyataan sikapnya yang diterima SP, Kamis (18/9) menilai, perkembangan diskursus tentang RUU Pornografi dari waktu ke waktu, kian mengarah kepada kontraversi ideologis dan politis semata. KWI melihat diskursus tersebut semakin menjauh dari semangat bermusyawarah dalam bingkai negara hokum yang mendasarkan seluruh produk hukumnya pada Pancasila dan UUD 1945 serta melahirkan polarisasi yang tidak sehat dalam masyarakat, sehingga sangat berpotensi melahirkan benturan atau bahkan konflik antarwarga masyarakat yang pro dan kontra.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam, Edy Purwanto Pr dan Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian, Dany Sanusi OSC, KWI mengimbau DPR agar sebaiknya tidak mengesahkan RUU Pornografi menjadi UU. Pertimbangannya, pertama, sesuatu rancangan aturan public yang akan diberlakukan dan mengikat seluruh warga Negara dengan sanksi hokum dan masih dijadikan bahan kontroversi (bersifat controversial), apabila diputus atau disahkan, itu hanya akan melukai pihak yang dikalahkan. Kedua, kami mendesak agar DPR kembali membuka ruang bersama bagi seluruh komponen masyarakat untuk berproses melalui diskusi-diskusi dan debat public yang sehat serta dijauhkan dari kepentingan-kepentingan politik sesaat. Penegasan bersama seluruh lapisan masyarakat adalah sangat penting. Ketiga, sudah banyak aturan hokum mengenai kejahatan pornografi seperti tertuang dalam KUHP, UU Penyiaran, dan produk Undang-undang lainnya yang tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh Negara, maka lahirnya UU baru tidak serta merta menjamin terlaksananya sebuah penegakan hukum.
Belum Dikaji
Terkait dengan itu, Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof. Eko BUdiharjo kepada pers di Yogyakarta, Rabu (17/9) menegaskan, RUU Pornografi yang banyak ditentang itu, memang tidak melalui kajian ilmiah, padahal seharusnya sebuah produk UU harus ada naskah akademik dan dikaji dari kampus ke kampus. "RUU Pornografi ini belum melalui kajian akademik karena kalangan akademisi belum pernah diajak membicarakan dan membahas materi RUU tersebut," kata Eko Budiharjo.
Seharusnya kata Eko, dalam penyusunan RUU Pornografi dilakukan secara hati-hati, karena menyangkut kepentingan yang lebih luas dan perlu melibatkan berbagai kalangan seperti akademisi, filusof, ulama, seniman dan budayawan. Pendapat itu didukung Ketua FRI Prof Dr.Edy Suandi Hamid pada Rabu (17/9) di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang menilai bahwa munculnya banyak masalah yang berkaitan dengan proses penyusunan dan penetapan UU, disebabkan kurangnya kajian ilmiah yang dilakukan secara independent oleh pihak yang kompeten.
Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada (PSW UGM) juga berpendapat perlu adanya kajian multi disiplin ilmu untuk menyikapi pro dan kontra mengenai RUU Pornografi. "Kajian tersebut diperlukan untuk menentukan batasan-batasan pornografi, karena arti yang ada dalam RUU tersebut masih rumit," kata kepala PSW, Siti Hariti Sastriyani, di Yogyakarta, Rabu seperti dilansir Antara.
Harapan serupa juga disampaikan Dewan Kesenian Semarang yang meminta RUU Pornografi harus mengatur batasan pornografi yag jelas. Ketua Dewan Kesenian Semarang, Marco Manardi, di Semarang, Rabu mengatakan, perlunya aturan rinci batasan pornografi tersebut, karena dalam memandang pornografi lebih banyak didasarkan pada subyektifitas seseorang.

PERNYATAAN SIKAPKONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI)TERHADAP RENCANA PENGESAHANRUU PORNOGRAFI OLEH DPR RI

Mencermati perkembangan diskursus tentang Rancangan Undang-undang Pornografi yang dari waktu ke waktu kami pandang kian mengarah kepada KONTROVERSI IDEOLOGIS DAN POLITIS semata, semakin menjauh dari semangat bermusyawarah dalam bingkai negara hukum yang mendasarkan seluruh produk hukumnya pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta melahirkan polarisasi yang tidak sehat dalam masyarakat sehingga sangat berpotensi melahirkan benturan atau bahkan konflik antarwarga masyarakat yang pro dan yang kontra, maka kami menyatakan sikap berikut ini:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (DPR RI) SEBAIKNYA TIDAK MENGESAHKAN RUU TERSEBUT MENJADI UU.
Dasar pertimbangan kami: pertama, sesuatu rancangan aturan publik yang akan diberlakukan dan mengikat seluruh warga negara dengan sanksi hukum dan masih dijadikan bahan kontroversi (bersifat kontroversial), apabila diputus atau disahkan, itu hanya akan melukai pihak yang DIKALAHKAN. Kedua, kami mendesak agar DPR kembali membuka ruang bersama bagi seluruh komponen masyarakat untuk berproses melalui diskusi-diskusi dan debat publik yang sehat serta dijauhkan dari kepentingan-kepentingan politik sesaat. Penegasan bersama (communal discernment) seluruh lapisan masyarakat adalah sangat penting. Ketiga, sudah banyak aturan hukum mengenai kejahatan pornografi seperti tertuang dalam KUHP, UU Penyiaran, dan produk Undang-undang lainnya yang tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh negara; maka lahirnya UU baru tidak serta merta menjamin terlaksananya sebuah penegakkan hukum.
Ada banyak hal yang jauh lebih penting dan mendesak untuk dihatikan oleh para Wakil Rakyat daripada terus menerus berkutat pada agenda pengesahan RUU Pornografi yang jelas-jelas masih mendapatkan kritik tajam serta penolakan dari banyak lembaga dan unsur-unsur masyarakat dengan argumentasi-argumentasi yang cerdas.
Demikianlah pernyataan sikap kami, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) terhadap rencana pengesahan RUU Pornografi tersebut.

Jakarta, 17 September 2008

YR. Edy Purwanto Pr S. Dany Sanusi OSC

Sekretaris Eksekutif Sekretaris Eksekutif
Komisi Kerawam KWI Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI

Tidak ada komentar: