Rm A.Luluk Widyawan Pr.
Siapakah pemegang kuasa kepemimpinan Gereja?
Kitab Hukum Kanonik 1983 berjudul De potestate regiminis (kuasa kepemimpinan) menjelaskan secara rinci tentang kepemimpinan Gereja (bdk. kan. 129-144). Kepemimpinan Gereja mengacu pada kuasa ilahi
yang diperoleh seseorang beriman melalui penerimaan sakramen tahbisan. Oleh karena melalui tahbisan itu ada kuasa yang dalam kodeks disebut dengan potestas sacra (bdk. LG, 10b; 18a).
Mengapa kaum tertahbis atau imam memiliki kuasa memimpin?
Dalam kodeks lama KHK 1917 disebut dengan potestas ordinis yang memiliki gradasi atau hirarki atas dasar tahbisan (bdk. kan. 108, art.1, KHK 1917). Dari penerimaan tahbisan, seseorang menerima kuasa
untuk memimpin hal itu dinyatakan dalam kanon 1008, KHK 1983: dengan sakramen tahbisan menurut ketetapan ilahi sejumlah orang dari kaum beriman kristiani diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dengan ditandai meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan dalam pribadi Kristus Kepala, masing-masing menurut tingkatannya, tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.
Selain kuasa tahbisan, kuasa apalagi yang dimiliki kaum tertahbis atau imam?
Dibedakan dalam kodeks lama potestas ordinis (kuasa tahbisan) dan potestas iurisdictionis (kuasa kewenangan). Potestas ordinis diperoleh dengan penerimaan sakramen tahbisan yang menuntut adanya jabatan, sedangkan potestas iurisdictionis diperoleh melalui pemberian kewenangan dari otoritas yang lebih tinggi. Dalam kodeks yang baru KHK 1983, keduanya menjadi satu, seorang beriman memiliki potestas iurisdictionis setelah menerima potestas ordinis melalui tahbisan suci.
Bagaimana pandangan Konsili Vatikan II tentang kuasa kepemimpinan Gereja?
Konsili Vatikan II mengamini apa yang dinyatakan di atas bahwa kuasa (potestas/exousia) kepemimpinan dalam Gereja diperoleh melalui penerimaan tahbisan. LG, 21: Untuk menunaikan tugas-tugas yang mulia itu para Rasul diperkaya dengan pencurahan istimewa Roh Kudus, yang turun dari Kristus atas diri mereka (bdk. Kis 1:8). Dengan penumpangan tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada para pembantu mereka (bdk. 1 Tim 4:14).
Apakah kuasa kepemimpinan Gereja dimonopoli kaum tertahbis atau imam saja?
Kanon 129, art.1 menengaskan pernyataan Konsili: menurut ketentuan norma hukum, yang mampu mengemban kuasa kepemimpinan yang oleh penetapan ilahi ada dalam Gereja dan juga disebut kuasa yurisdiksi, ialah mereka yang telah menerima tahbisan suci. Paragrap kedua kanon yang sama menyatakan letak kepemimpinan kaum awam: dalam pelaksanaan kuasa tersebut, orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam kerjasama menurut norma hukum. Di sinilah letak kepemimpinan kaum awam yakni: berkat penerimaan sakramen pembaptisan awam mengambilbagian dalam tiga tugas Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja.
Apa perbedaan kuasa kaum tertahbis dan kaum awam?
Kaum awam memperoleh imamat umum yang membedakan dari imamat jabatan/hirarkis yang diterima melalui tahbisan imamat. Kendati berbeda dan juga tingkatannya imamat umum dan jabatan satu sama lain saling terarahkan. Sebab keduanya dengan caranya yang khas masing-masing mengambilbagian dalam satu imamat Kristus (bdk. LG. 10,b). Jadi kepemimpinan awam merupakan pengambilbagian dari exercitio eiusdem potestatis yang dimiliki oleh Imam/Uskup.
Jika demikian, bagaimana bentuk kuasa memimpin dalam Gereja?
Kanon 129 menyatakan sebuah solusi tentang masalah siapa yang memiliki kuasa memimpin (munus regendi) di dalam Gereja. Masalah timbul dari determinasi hubungan antara imamat umum dan ministerial dan kuasa memimpin di dalam Gereja. Paragrap satu kanon 129, menetapkan bahwa ada dua jalan untuk pelayanan di dalam Gereja: pertama pelayanan Gereja yang membutuhkan kuasa dari sakramen tahbisan dan misi kanonik. Kuasa sakramen itu merujuk pada kemampuan yang bersumber atas nama Kristus
secara spiritual dan pengudusan dari ikatan tahbisan. Misi kanonik diberikan oleh pemimpin Gereja sebagai kuasa yang didelegasikan potestas delegata(bdk. kan. 131) seturut norma kanonik kepada seseorang untuk melaksanakan tugasnya. Perbedaan ini secara eksplisit dalam paragrap kedua kanon 129 dinyatakan: in exercetio eiusdem potestatis, christifideles laici ad normam iuris cooperaro possunt. Maksud dari kalimat ad normam iuris cooperari possunt? Kodeks memberikan aneka kemungkinan bagi kaum awam untuk bekerjasama (kooperatif) dengan imam dalam pelaksanaan kuasa yurisdiksi yang dimilikinya.
Bagaimana bentuk kepemimpinan itu?
Kerjasama dalam bentuk ambilbagian dalam kuasa kepemimpinan Gereja oleh kaum awam terwujud dalam tugas-tugas Gereja baik dalam eksekutif maupun yudikatif level. Sebagai contoh kaum awam dapat menjadi notarius, atau defensor vinculi dalam tribunal Gereja, atau menjadi anggota Dewan Keuangan Keuskupan/Paroki, atau Dewan Pastoral Keuskupan/Paroki. Jadi baik Imam (clerus) maupun kaum awam
(laicus) dapat bekerjasama dalam pelaksanaan kuasa yurisdiksi oleh seorang berkat penetapan ilahi yang diterimanya atau oleh kuasa yang didelegasikan.
Apa dasar keterlibatan kaum awam dalam kepemimpinan Gereja?
Kepemimpinan kaum awam dalam Gereja didasarkan pada penerimaan sakramen baptis dan imamat umum yang diterimanya. Kuasa memimpin awam dalam Gereja dimungkinkan sejauh pelaksanaan kuasa memimpin itu tidak memerlukan kuasa tahbisan seturut norma hukum. Contoh, awam tidak bisa menjadi pastor paroki karena untuk menjadi pastor paroki dibutuhkan kuasa kepemimpinan berdasarkan tahbisan potestas ordinaria (bdk. kan. 521, art.1).
Berarti ada perbedaan kaum tertahbis atau imam dan kaum awam?
Meski kepemimpinan dalam Gereja didominasi oleh seorang yang menerima kuasa kepemimpinan melalui penerimaan tahbisan suci (bdk. kan 129), kaum awam bukanlah kelas nomor dua dalam Gereja. Mengapa?
Karena konsep Gereja sebagai Umat Allah (bdk. kan. 204) dimana semua umat beriman kristiani (Uskup, Imam, Awam, Biarawan/Biarawati) berkat penerimaan sakramen pembaptisan diinkoperasi pada Kristus, mengambilbagian dalam tugas Kristus dengan caranya sendiri. Sekali lagi, tidak ada lagi pembagian kelas dalam Gereja, semua sama dan wajib berpartisipasi dalam kepemimpinan Gereja sesuai dengan fungsinya.
Keputusan dalam kepemimpinan Gereja ada ditangan pemimpin yang memiliki kuasa ilahi (potestas sacra) namun sebelum mengambil keputusan, dia wajib mendengarkan umat beriman demi kebaikan bersama.
Jadi kesimpulannya, bagaimana sebaiknya kepemimpinan dalam Gereja ?Babak baru dalam kepemimpinan Gereja adalah membangun sebuah kerjasama yang harmonis antara Uskup/Imam dan umat beriman awam dalam memimpin umatnya. Kepemimpinan Gereja tidaklah clerical sentris (kaum tertahbis) lagi atau laical sentris (kaum terbaptis non tertahbis) tetapi Kristus sentris dimana semua anggota Gereja berpartisipasi dalam kepemimpinan Gereja sesuai dengan jabatan dan fungsinya.
Pope Francis Angelus 2018-02-18
-
Pope Francis Angelus 2018-02-18
From St. Peter’s Square, recitation of the Angelus prayer led by Pope
Francis
From: Vatican News
Views: 4263
0 ratings
Ti...
7 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar