VISI PAROKI:

Gereja Umat Allah yang dengan bimbingan Roh Kudus terus menerus membangun persekutuan sehati sejiwa, yang berpusat pada Yesus Kristus; berakar dalam komunitas jemaat Lingkungan, beriman mendalam, kokoh, dewasa, misioner dan memasyarakat

12 Oktober 2007

DIALOG TAKJIL

Salam damai. Sungguh menggembirakan menyaksikan setiap hari selama bulan Ramadhan, umat Katolik St. Maria Annuntiata membagikan takjil gratis di depan Gereja. 12 Wilayah, 2 Sub Seksi dan 5 Organisasi di bawah naungan Paroki St. Maria Annuntiata, Sidoarjo saling bahu membahu di bawah koordinator Seksi Hubungan Antar Agama Dan Kepercayaan (HAK) telah melaksanakan kegiatan tersebut.

Satu wilayah saya temui, untuk menyiapkan sebungkus ketan, roti, aqua mengeluarkan biaya @ Rp. 2.000,-. Wilayah lain menyiapkan sebungkus es kelapa muda, dan dua jenis roti mengeluarkan dana yang tak jauh berbeda. Selama berlangsungnya kegiatan, rata-rata komposisi paketnya hampir sama. Rata-rata semua menyediakan jumlah yang sama, 250 paket takjil. Bahkan ada yang lebih hingga mencapai 300-350 paket.

Bagi wilayah yang kas keuangannya banyak memang tidak jadi masalah. Apalagi jika anggota wilayahnya boleh dikatakan cukup. Menariknya, ada satu wilayah yang sering mengatakan wilayahnya berbeda dari yang lain, dalam arti kondisi keuangannya minim pun, tetap berpartisipasi membagikan takjil. Entah darimana datangnya dana tambahan, padahal dari seksi HAK Dewan Paroki hanya memberikan subsidi Rp. 100.000,-.

Sejak awal ketika bertemu dengan para ketua wilayah atau yang mewakilinya, juga kelompok lainnya, saya mengatakan kegiatan ini positif dan mendukungnya. Jika seluruh wilayah mendukung, sebagaimana yang sudah terjadi, berarti apa yang dimulai Seksi HAK mendapat dukungan. Pada kesempatan membagikan takjil, saya sempat menyaksikan semua berlangsung dengan baik. Tidak ada masalah dan keluhan yang berarti. Artinya memang kegiatan ini, secara intern memang baik.

Lalu bagaimana dengan tanggapan secara ekstern. Koordinator acara ketika akan meminta dukungan Ketua RT pun disarankan tidak perlu membuat surat. Karena Ketua RT meyakinkan bahwa kalau kegiatan itu baik mempersilahkan saja. Beliau bahkan mengatakan bahwa apa yang dilakukan, dalam kacamata umat Islam, pasti mendatangkan pahala.

Lain lagi pendapat Bapak Kepala Badan Kesatuan Bangsa Dan Lintas Masyarakat (Bakesbanglinmas) yang datang menyaksikan langsung pembagian takjil dan berkunjung ke pastoran, didampingi Ketua Walubi Sidoarjo yang kebetulan juga pengurus Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB), Kabupatan Sidoarjo. Mereka berdua tertarik dan sangat mendukung kegiatan ini. Bahkan, secara khusus mereka berniat menjadikan kegiatan di depan gereja kita sebagai pilot project percontohan untuk kegiatan Ramadhan di masa mendatang. Tanpa ragu-ragu mereka meminta lembaran proposal kegiatan ini. Mereka mengapresiasi kegiatan ini sungguh memberi warna positif dalam konteks membina hubungan antar agama.

Kawan-kawan muda Pergerakan Muda Islam Indonesia (PMII) menilai bahwa kegiatan itu sebagai satu-satunya di Sidoarjo. Dalam pengamatan mereka, hanya Gereja Katolik yang melaksanakan kegiatan membagikan takjil setiap hari, selama bulan Ramadhan. Mereka pun sangat aspresiatif menyaksikan umat Katolik memiliki kegiatan semacam ini. Padahal di kalangan umat Islam sendiri, kegiatan itu belum menjadi kegiatan yang terprogram dengan baik, bahkan tidak ada yang rutin setiap hari.

Lepas dari kebanggaan memuji diri berlebihan (oratio pro domo), saya menilai kegaitan ini positif sekaligus membanggakan. Di empat paroki lain yang saya tempati, belum pernah ada kegiatan rutin, semacam ini setiap hari selama Ramadhan. Lebih dari itu, meskipun tidak wah dan sangat sederhana, kegiatan ini merupakan dialog karya yang sangat efektif untuk menjalin persaudaraan dan kerukunan antar umat beragama.

Dalam Surat Dewan Kepausan Untuk Dialog Antar Umat Bersgama, Pesan Untuk Akhir Bulan Ramadhan, Idul Fitri 1428 H / 2007, Jean-Louis Kardinal Tauran (Ketua) dan Uskup Agung Pier Luigi Celata (Sekretaris) mengatakan, “Hal yang patut diperhitungkan adalah: tuntutan bahwa suatu budaya damai dan solidaritas antarmanusia dapat dibangun, di mana setiap orang dengan teguh dapat terlibat untuk membangun masyarakat persaudaraan yang semakin meluas. Sebagai umat beragama yang beriman, adalah kewajiban kita semua untuk menjadi pembina-pembina perdamaian, hak-hak azasi manusia dan kebebasan yang menghargai setiap pribadi, tetapi juga untuk menjamin semakin kuatnya ikatan-ikatan sosial yang ada, karena setiap orang harus memperhatikan saudara dan saudarinya tanpa diskriminasi. Bersama-sama, sebagai warga dari pelbagai tradisi agama yang berbeda-beda, kita semua dipanggil untuk menyebar-luaskan suatu ajaran yang menghormati semua manusia sesama ciptaan, suatu warta cinta-kasih baik antar-pribadi maupun antar-bangsa. Pertama-tama hal ini menjadi tanggungjawab keluarga-keluarga, kemudian juga mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan, dan tentu saja juga para pemuka masyarakat, baik sipil maupun keagamaan. Dalam semangat yang seperti itulah upaya dan peningkatan dialog antara Umat Kristiani dan Umat Islam harus dianggap penting, baik dari sudut pandang pembinaan maupun dari sudut pandang budaya. Dengan demikian maka dapat dikerahkanlah segala kekuatan untuk pelayanan bagi umat manusia dan kemanusiaan. Dialog adalah sarana yang dapat membantu kita untuk melepaskan diri dari lingkaran konflik yang tak berujung dan pelbagai ketegangan yang menandai masyarakat kita saat ini, sehingga semua bangsa dapat hidup dalam ketenangan dan kedamaian serta dengan saling menghargai dan terpadu dalam keharmonisan di antara kelompok-kelompok yang membentuk mereka”.

Sambutan Dewan Kepausan yang diserukan dari Vatikan, Italia dan kegiatan pembagian takjil di Paroki St. Maria Annuntiata, Sidoarjo, ibarat tumbu oleh tutup. Jika ditanya, apa makna atau nilai kegiatan membagikan takjil ? Penerusan budaya damai, solidaritas, penguatan ikatan-ikatan sosial, penghormatan semua manusia sesama ciptaan, warta kasih, dialog, ketenagan, kedamaian, keharmonisan, itulah nilai-nilai positif yang telah ditawarkan dan akan terus diperjuangankan. Bukan hanya di depan gereja sebagai satu “show” kesatuan Umat Katolik, namun hendaknya menetes ke wilayah, lingkungan dan keluarga kita masing-masing. Dialog takjil, jika boleh saya menyebutnya demikian, sebenarnya bukan barang mewah, karena harganya satu paket, tak lebih dari Rp. 2.500 - 3.000,-. Bukan pula diskusi otak, karena tak perlu mengerutkan dahi, melainkan hanya mengandalkan ketulusan dan senyuman ketika membagikan. Bahkan bukan dialog teologis, yang justru hanya berdebat dan saling membenarkan ajaran agama masing-masing. Dialog takjil, dengan demikian merupakan dialog karya yang nyata meskipun sederhana, yang punya daya meskipun kita menganggapnya biasa dan tak sempurna. Yang lain, mungkin melihat dengan sebelah mata. Tetapi justru ada orang bukan Katolik yang melihatnya dengan dua mata. Selamat berlibur, selamat mudik.

(A. Luluk Widyawan, Pr)

Tidak ada komentar: