VISI PAROKI:

Gereja Umat Allah yang dengan bimbingan Roh Kudus terus menerus membangun persekutuan sehati sejiwa, yang berpusat pada Yesus Kristus; berakar dalam komunitas jemaat Lingkungan, beriman mendalam, kokoh, dewasa, misioner dan memasyarakat

21 Mei 2009

REFLEKSI HARI KEBANGKITAN NASIONAL 20 MEI 2009

[ Jawa Pos Rabu, 20 Mei 2009 ]
Refleksi Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2009
Oleh: A.Mustofa Bisri

Harapan di Hari Kebangkitan

Meski kemudian ada kontroversi mengenai tonggak penetapannya, karena sudah telanjur ditetapkan, kita tetap memperingati Hari Kebangkitan Nasional (HKN) pada 20 Mei. Karena tonggak untuk ?penetapannya adalah kelahiran Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908, peringatan HKN kali ini dianggap sebagai peringatan yang ke-101.

Memang, sejak dan dalam tahun-tahun setelah berdirinya BO itu, organisasi dan pergerakan bertumbuhan di tanah air. Mulai yang bersifat lokal, kedaerahan, keagamaan, hingga politik. Semua komponen bangsa, mulai kota hingga desa, bangkit kesadaran ketanahairannya untuk melawan penjajahan. Sangat menarik bahwa di kalangan pesantren yang terkenal gigih melawan kolonialis lahir perhimpunan-perhimpunan yang sengaja menggunakan nama yang bermakna kebangkitan. Misalnya, Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang), Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Kiai), dan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air).

Allah telah menggerakkan hati dan pikiran bangsa yang begitu lama terjajah untuk bangkit. Menyadari betapa pedih dan menderitanya menjadi bangsa yang terjajah. Menyadari bahwa kondisi seperti itu harus disudahi. Bangsa ini pun gumregah, bangkit dari kejumudan untuk melawan penjajahan Belanda demi kemerdekaan.

Kebangkitan bangsa itu kemudian mengkristal dalam Sumpah Pemuda 1928 yang menegaskan ke-Indonesia-an bangsa dan klimaksnya adalah Proklamasi Kemerdekaan 1945. Kesadaran dan kebangkitan yang menggerakkan perjuangan bangsa itu akhirnya sampai ke pintu gerbang negara Indonesia merdeka.

"Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, ?adil, dan makmur." Demikian salah satu pernyataan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Lalu, dilanjutkan, "Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

Meski sudah sampai ke pintu gerbang, ternyata untuk benar-benar memasuki negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur masih memerlukan perjuangan yang panjang, yang menguras tenaga, pikiran, darah, dan air mata. Mempertahankan kemerdekaan ternyata tidak kalah berat daripada merebutnya.

Rasanya baru kemarin, tapi ternyata sudah lebih seabad bangsa ini sadar dan bangkit. Pahit-getirnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan sudah kita lalui sejak memasuki "pintu gerbang". Kita telah melalui masa-masa revolusi yang dahsyat, melalui orde-orde dan pemerintahan bangsa sendiri. Apakah kini kita sudah sampai atau masuk ke negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur?

Apabila dulu hal itu -negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur-menjadi obsesi dan impian para pemimpin dan rakyat sehingga mereka bersedia berkorban apa saja demi memperjuangkannya, apakah kini hal tersebut masih menjadi obsesi dan impian para pemimpin dan rakyat kita? Dengan menyaksikan hiruk-pikuknya para tokoh berebut kursi kekuasaan, hiruk-pikuknya rakyat jelata berebut BLT atau pembagian zakat, diam-diamnya para koruptor nilep uang negara, diam-diamnya para politikus mengamplopi para pemilih, diam-diamnya tokoh masyarakat menerima "salaman tempel" para calon pemimpin, serta menyaksikan pertikaian antarpemimpin dan pertikaian antarrakyat, kita menjadi kecil hati. Jangan-jangan para pemimpin dan rakyat negeri ini justru masih belum kunjung merdeka, bahkan lebih terjajah daripada zaman dahulu.

Memang, kita sudah lama merdeka dari penjajahan Belanda. Namun, penjajah demi penjajah masih terus menjajah kita. Atau, kita sendiri yang belum bisa melepaskan diri dari mental anak jajahan. Bahkan, sejak "dakwah" orde baru yang efektif -atas nama pembangunan ekonomi- untuk mencintai materi, sadar atau tidak, kita telah menjadi budak jajahan dunia dan materi.

Hal tersebut diperparah oleh pemahaman tentang kemerdekaan dan kebebasan yang tidak pernah diluruskan yang berkembang sejak lengsernya penguasa pengekang kemerdekaan. Ibarat burung yang lama dikurung (selama lebih 30 tahun!) tiba-tiba dilepas, kebebasan pun membuatnya menabrak ke sana-kemari.

Kemerdekaan kemudian diartikan sebagai kebebasan berbuat apa saja meski menabrak dan mengganggu kemerdekaan liyan. Bebas teriak, bebas nyolong, bebas selingkuh, bebas menipu, bebas nyuap, bebas menembak, bebas membakar, bebas merusak, bebas melanggar hukum, bebas apa saja.

Kebebasan yang semacam itu akan menjadi malapetaka bila ditunggangi oleh kepentingan duniawi dan materi. Bahkan, kesadaran ketanahairan yang begitu kuat lebih seabad yang lalu kini seperti mulai memudar.

Untung, mendengar janji-janji para capres-cawapres kita yang semuanya berniat memperbaiki Indonesia dan menyejahterakan rakyat, betapa pun kecil, kita masih boleh berharap bahwa semangat kebangkitan nasional masih menyala. Atau, justru para pemimpin yang berkompetisi untuk menjadi pemimpin bangsa saat ini akan memelopori kebangkitan nasional yang kedua sebagaimana diidam-idamkan oleh banyak tokoh. Sehingga praktik-praktik politik rendahan ala pasar hewan tidak lagi diteruskan.

Mudah-mudahan Tuhan Yang Mahakuasa mengembalikan akal sehat para pemimpin dan bangsa ini, menolong mereka untuk menyadari ke-Indonesia-an mereka dan bahwa kekuasaan, sebagaimana hal-hal duniawi lainnya hanya wasilah (sarana), bukan ghayah (tujuan). Tujuan bangsa ini sejak awal ialah mencapai Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang diridai Allah SWT.

Mudah-mudahan Allah merahmati dan menyelamatkan bangsa ini. Amin.

*). KH Mustofa Bisri, budayawan, pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin, Rembang

Tidak ada komentar: