VISI PAROKI:

Gereja Umat Allah yang dengan bimbingan Roh Kudus terus menerus membangun persekutuan sehati sejiwa, yang berpusat pada Yesus Kristus; berakar dalam komunitas jemaat Lingkungan, beriman mendalam, kokoh, dewasa, misioner dan memasyarakat

21 Mei 2009

RENUNGAN HARI KENAIKAN ISA ALMASIH, 21 MEI 2009

Oleh : Goei Tiong Ann Jr * Menghadirkan Surga di Dunia Tidak terasa lumpur Lapindo hampir tiga tahun umurnya. Pada 29 Mei 2006, kali pertama lumpur menyembur di sumur Banjar Panji 1 Desa Siring, Porong. Awalnya semburan hanya kecil, lalu membesar hingga 150 ribu meter kubik per hari. Hingga dua tahun, semburan lumpur masih susah dihentikan. Apalagi, beberapa tanggul juga jebol hari-hari ini.Hampir tiga tahun sudah para korban merasakan pahit getir dalam posisi yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Rumah, sekolah, jalan desa, kuburan, sawah, atau ladang serta fasilitas lain ikut tenggelam. Rumah kontrakan, tempat pengungsian menemani hari-hari panjang dalam kesepian dan perasaan dipermainkan. Ganti rugi, sesuai Perpres No 14/2007, selalu dilanggar Minarak Lapindo. Pemerintah tidak hadir alias tak bisa berbuat apa-apa. Masa depan serbasuram.Ekonomi Libidinal Begitulah nasib manusia lumpur. Manusia yang martabatnya terjebur dalam lumpur akibat keserakahan dan arogansi libidinal mencari minyak. Jean Francois Lyotard, filsuf posmo asal Prancis dalam karyanya Libidinal Economy (1993) mengungkapkan bahwa kapitalisme telah mengalami transformasi ke arah kecenderungan baru yang disebut dengan "libido ekonomi" (libidinal economy atau libidonomics). Di sini diciptakan ruang bagi pelepasan hasrat, sehingga setiap orang harus dapat mengeksplorasi dan memasarkan setiap rangsangan libido guna memperoleh keuntungan maksimal. Dengan libido semacam itu pula, Lapindo telah mengksplorasi secara ekstrem semua kawasan di Blok Brantas, tidak peduli di situ padat penduduk, tidak peduli lingkungan akan rusak. Yang penting hanya "profit". Bahkan, meski telah jatuh korban nyawa akibat ledakan pipa di kawasan lumpur dan puluhan ribu jiwa terkatung-katung sementara yang lain mengungsi, para pemuja libidonomic masih mencoba mengalkulasi keuntungan yang bisa diraih. Tidak heran jika jeritan dan teriakan para korban lumpur pun tidak pernah sampai mengusik nurani mereka. Jika nurani mereka masih ada, penyelesaian bagi para korban lumpur tidak sampai bertele-tele dan berbelit-belit. Jika martabat manusia yang diprioritaskan, persoalan korban lumpur tidak akan terkatung-katung hingga tiga tahun. Oleh sebab itu, harus terus ada yang berani menyuarakan keberpihakan, empati, dan solidaritas kepada korban lumpur, meski ini sangat berisiko. Pada zamannya, Yesus pun mengkritik pedas terhadap Bait Allah yang justru dikenal sebagai medan perselingkuhan antara agama, politik, dan bisnis (bdk Luk 19:45-48). Yesus mengecam rendahnya kepekaan sosial terhadap sesama (bdk Luk 16:19-31). Memang, akibat kritik itu Yesus disalib dan wafat. Salib menjadi ungkapan solidaritasnya bagi kaum lemah. Tapi, tiga hari kemudian, Dia bangkit. Setelah 40 hari hidup di dunia pascawafatnya, Yesus naik ke surga seperti tengah diperingati hari ini.Entaskan dari Kehinaan Selama hidup di dunia, dengan kata-kata dan sabdanya, Yesus mencoba mengingatkan bahwa martabat manusia itu luhur, bukan seperti lumpur. Pasalnya, manusia diciptakan menurut citra surgawi atau sesuai gambar Allah sendiri (imago Dei). Dengan kenaikannya ke surga, Yesus juga menunjukkan bahwa seharusnya cara hidup kita tidak menjadikan dunia sebagai segala-galanya sehingga menghalalkan semua cara, termasuk mempermainkan martabat manusia seperti telah dilakukan Lapindo terhadap korban lumpur.Kemudian, kalau kita bicara soal surga, dalam perspektif Yesus dan iman Kristen, yang satu ini tidak hanya berdimensi eskatologis. Tapi, surga itu harus diupayakan mulai saat ini, sebagaimana bunyi doa, "Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (lihat Matius 6:9-13 dan Lukas 11:2-4). Kalau para muridnya mau peduli pada yang lemah, memperjuangkan martabat sesama yang dihinakan dan mengangkat mereka ke posisi yang lebih baik, surga mulai tercipta di dunia ini. Jadi, tidak perlu terobsesi hendak membangun gedung gereja atau balai paroki megah kalau di kiri kanan masih ada yang miskin, gizi buruk atau susah sekolah. Lebih baik uangnya dipakai untuk tabungan di surga kelak dengan saat ini berbuat sesuatu kepada kaum lemah agar mereka bisa beranjak atau terentas dari lumpur kehinaan dan kepapaan. Kemegahan gedung gereja bisa mendorong Gereja Katolik makin berkurang pengaruhnya seperti terjadi di Brazil. Paus Benediktus XVI pun mengecam pejabat gereja di Brazil yang kurang peka pada penderitaan kaum lemah karena lebih silau pada apa yang megah yang ditawarkan para pemilik modal. Akibat sikap itu, pejabat gereja di sana gagal melihat derita kaum papa yang butuh pertolongan segera. Padahal, pintu surga yang final akan dibuka hanya pada mereka yang semasa hidup di dunia mau peduli pada yang papa (Matius 25:1-140)Jadi, kaum lemah, khususnya para korban lumpur, seharusnya lebih diprioritaskan oleh gereja atau lembaga kegamaan lain sehingga mereka bisa beranjak dari neraka lumpur kehinaan. Kaum papa bisa menyanyikan kidung pujian bahwa ternyata surga sungguh bisa dirasakan dan dihadirkan di dunia ini, meski finalnya ada pada suatu masa kelak. (*)Goei Tiong Ann Jr, Rohaniwan dan Aktivis Lingkungan,Tinggal di Roma, Italia ( Jawa Pos Kamis,21 Mei 09)

Tidak ada komentar: