VISI PAROKI:

Gereja Umat Allah yang dengan bimbingan Roh Kudus terus menerus membangun persekutuan sehati sejiwa, yang berpusat pada Yesus Kristus; berakar dalam komunitas jemaat Lingkungan, beriman mendalam, kokoh, dewasa, misioner dan memasyarakat

04 Juni 2009

JANGAN CIPTAKAN NERAKA BAGI KAUM LEMAH

Apakah surga itu? Ternyata sebagian orang berpendapat, surga adalah ketika bisa punya uang Rp1,7 triliun seperti yang dimiliki Prabowo Subianto. Bayangkan, tiga ekor kuda miliknya saja konon seharga Rp9 miliar. Seorang buruh bergaji Rp800 ribu per bulan, butuh waktu 100 tahun lebih untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Seorang buruh pabrik rokok di Kediri atau office boy di Jakarta mungkin butuh dua ratus tahun untuk bisa membeli ekornya saja. Jangankan dengan harta Prabowo, dengan harta para caprescawapres lain saja sudah sulit bagi sekitar 227 juta penduduk negeri ini untuk mengejar atau meraihnya. Misal Megawati yang hartanya naik Rp60 miliar (Seputar Indonesia, 20/5).Penulis mau bertanya pada para motivator yang doyan menggelar seminar tentang kekayaan, bagaimana bisa mendapatkan harta sebesar itu dalam beberapa tahun saja?Tak mengherankan bila banyak yang geleng-geleng kepala, benarkah jumlah kekayaan tiga capres-cawapres kita memang sebesar itu? Ada upaya untuk melebih-lebihkan atau mungkin justru ada kekayaan lain yang justru tidak dilaporkan ke KPK? Yang pasti, kalau tiap orang Indonesia memiliki kekayaan sebesar yang dimiliki tiga capres-cawapres itu, jelas negeri ini sudah menjadi surga di dunia sejak lama. Namun apa daya? Yang terjadi justru kebanyakan warga kita tak punya uang sehingga hidup sehari-hari sering jadi seperti di dalam neraka. Perlu diketahui, menurut Bank Dunia, setengah jumlah warga negeri ini ternyata mengonsumsi kurang dari USD2 per hari (kriteria miskin menurut Bank Dunia). Itu berarti separo dari 227 juta warga kita. Namun tentu banyak yang tidak terima dengan kriteria Bank Dunia. Pemerintah yakin jumlah orang miskin telah berkurang dari 40 juta ke 36 juta.Tragedi Balita Anak PKLRobert Chambers dalam bukunya Rural Development, Putting the Last First (1983) mengingatkan agar kita jangan terlalu percaya kepada hasil survei dan data statistik yang berkaitan dengan kemiskinan dan orang miskin. Apalagi, orang miskin itu bukan angka, tetapi pribadi-pribadi manusia yang martabatnya tak boleh dilecehkan.Terkait ini, memprihatinkan sekali kasus kematian Siti Khoiyaroh, balita 4,5 tahun, karena tertumpah kuah bakso orangtuanya ketika menghindar dari oprakan Satpol PP Surabaya. Kasus itu sungguh menggambarkan terjadinya konflik yang tidak seimbang antara PKL dan Satpol PP yang merepresentasikan kewenangan pemerintah daerah. Itu tidak hanya di Surabaya. Ada konflik yang terjadi antara penguasa yang punya seperangkat pressure yang legitimate berhadapan dengan rakyat lemah yang berupaya mengais rezeki untuk mempertahankan hidupnya. Seolah ada keharusan untuk menggunakan kekerasan menghadapi kehidupan yang penuh risiko, bahkan berujung kematian.Jatuhnya korban pada oprakan PKL jelas menambah kepedihan dan keprihatinan kita atas melodrama konflik dalam penertiban kaki lima baik yang besar (membongkar bangunan liar) maupun yang kecil seperti "menyapu" PKL. Hidup bisa menjadi seperti neraka bagi para PKL dan anak-anaknya. Sayangnya di tengah sikon demikian, pemimpin yang seharusnya bisa menjadi teladan moral bagi rakyat kecil kini makin jarang dijumpai. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan selalu mencoba mengambil untung sebanyak-banyaknya demi kocek pribadi, parpol, atau kelompok sendiri. Lihat saja wacana koalisi antarparpol menjelang Pilpres 8 Juli, fokus utamanya tetap pada kekuasaan atau jabatan. Lalu bagaimana jabatan itu bisa dibagi-bagi alias politik dagang sapi yang hanya menguntungkan segelintir elite dan kelompoknya. Bonum commune atau kesejahteraan bersama hanya jargon karena tak menyentuh para PKL atau orang miskin. Sebagian besar wong cilik masih menghadapi neraka hidup sehari-hari. Akar dari neraka dunia seperti dialami korban gusur atau PKL korban Satpol PP sesungguhnya adalah egosentrisme. Bahwa diriku sendiri harus menjadi pusat perhatian. Orang lain atau siapa pun harus memperhatikan aku. Segala urusan dan perkara harus menguntungkan egoku. Bahkan dalam urusan beragama pun Tuhan dipaksa untuk menuruti semua keinginanku. Meski jumlah tempat ibadah luar biasa banyak dan terus dibangun di negeri ini, sesungguhnya orang tengah menuruti egosentrismenya, bukan berbakti kepada Tuhan. Memang nama Tuhan sering disebut, tetapi korupsi dan perilaku tak terpuji lain terus jalan. Dosa seolah gampang diputihkan. Tobat yang sering dikumandangkan hanya menjadi pemanis di bibir. Buktinya rekor korupsi negeri ini tetap tinggi, nomor dua setelah Filipina. Aneh bukan, Filipina dan Indonesia adalah dua negeri yang mengklaim religius tapi korup?Teladan YesusDalam perspektif iman Kristen, egosentrisme manusia yang terealisasi dalam dosalah yang mengakibatkan neraka di dunia. Bahkan dalam perspektif iman, egosentrisme dari dosa manusialah yang menyalibkan Yesus. Padahal selama hidup-Nya di dunia, Yesus aktif atau proaktif memberitakan bagaimana manusia harus hidup menurut standar Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga di mana hanya kepedulian dan sikap altruisme yang mendapatkan aksentuasi. Tidak aneh bila sepanjang hidup-Nya, Yesus sungguh memberikan harapan dan teladan betapa nilai-nilai surgawi sesungguhnya harus dimulai di dunia ini sehingga surga bukan hanya menjadi persoalan eskatologi belaka. Keempat Injil adalah saksi cara hidup surgawi dari Yesus entah lewat kata-kata maupun tanda-tanda yang dikerjakan-Nya, khususnya kepada orang-orang lemah seperti orang buta, lumpuh, dan miskin. Bahkan lewat salib-Nya, Yesus menunjukkan bagaimana kita seharusnya berkorban sampai tuntas untuk melawan dosa yang hanya menyediakan neraka bagi kita semua. Maka kuasa kematian tidak berlaku abai pada Yesus karena setelah Yesus mati hari Jumat sore, lalu bangkit hari Minggu pagi. Yesus bangkit dan hidup selama 40 hari, kemudian naik ke surga. Kalau kita para murid Yesus sungguh mau menghadirkan standar hidup ala di surga seperti pernah ditunjukkan-Nya 2.000 tahun silam, berarti masih ada harapan dan solusi untuk 1.001 problem seperti untuk mengentaskan saudara-saudara kita dari lumpur kemiskinan. Misalnya, para PKL seharusnya dicarikan tempat jualan, bukan diperlakukan seperti hewan. Para penghuni bangunan liar bisa dicarikan tempat tinggal yang pantas. Para penganggur, yang jumlahnya terus membengkak sekitar 11 juta akibat krisis keuangan global, bisa dicarikan lapangan kerja. Jika kita semua sungguh membuang atau meninggalkan ketamakan dan kerakusan, kemudian menjadikan solidaritas atau kepedulian sebagai gaya hidup sehari-hari, sebuah surga di dunia masih sangat mungkin untuk diwujudkan. Penulis kadang iri kepada Bill Gates yang bisa menyumbangkan 25% dari total kekayaannya untuk kegiatan amal atau riset kemanusiaan. Alangkah eloknya jika orang-orang kaya Indonesia juga terketuk hatinya untuk punya foundation guna membantu sesama yang lemah. Penulis mengimbau para elite, mari jangan menciptakan neraka bagi kaum lemah. Mari kita senantiasa mengupayakan surga bagi mereka.[okezone.com]Tom SaptaatmajaTeolog

Tidak ada komentar: