VISI PAROKI:

Gereja Umat Allah yang dengan bimbingan Roh Kudus terus menerus membangun persekutuan sehati sejiwa, yang berpusat pada Yesus Kristus; berakar dalam komunitas jemaat Lingkungan, beriman mendalam, kokoh, dewasa, misioner dan memasyarakat

05 Mei 2007

Crisis Center: Adakah Cahaya dalam Penderitaan?

Hingga kini, nestapa masih menyelimuti ribuan korban lumpur panas Lapindo, gempa Yogya, Nias, musibah Kapal Senopati, AdamAir, dan GIA. Masih adakah harapan di balik derita ini?

Ternyata, akumulasi pengalaman traumatik membuahkan frustrasi sosial berlarut. Gejolak emosi korban musibah sering instabil, cepat meletup, dan tak terkendali. Setiap saat, kekecewaan sosial ini dapat memancing perilaku brutal. Kenyamanan hidup sirna. Kapan dan bagaimanakah mereka bisa menormalisasi irama kehidupan? Cepat atau lambat, frustrasi ini menyengsarakan. Rasa waswas dan takut masih muncul kala ingin bepergian dengan kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. Rasa takut berlebihan berupa pesimisme berat bisa membuat seseorang berputus asa. Bayangkan, akibat depresi berat, seorang ibu tega meracuni anaknya sendiri. Bawahan berani tembak atasan (bdk I Wilkinson). Penderitaan ini bisa menggiring anak-anak bangsa ke era "neokolonialisme" yang tidak pernah serius mengurus kesejahteraan rakyat. Kekacauan dan ketidakpastian sosial ini menuntun anak-anak bangsa memasuki zona Sodom dan Gomora. Hidup tanpa masa depan. Bagaimana menyikapi penderitaan ini? Cahaya di balik derita Penderitaan mulai menyejarah sejak manusia ada di bumi. Berdasar tinjauan biologis, proses penderitaan terkait struktur otak manusia langsung memberi reaksi terhadap keadaan-keadaan sosial di sekitarnya (termasuk tekanan sosial). Berbagai kemajuan ilmiah dianggap bisa melenyapkan penderitaan (Imperatif Hedonistik David Pearce). Dunia rohani melukiskan penderitaan sebagai buah pahit kedosaan manusia. Kenyataan ini mengandaikan hiburan rohani, moralitas hidup, keselamatan, bahkan kutukan ilahi. Sebagai bagian integral, sebenarnya derita mendatangkan kekuatan rohani yang sering tidak disadari. Kuat-lemahnya watak dan kepribadian seseorang, antara lain, ditakar dari ketahanan menghadapi penderitaan (Richard Gula). Sejak kecil, Yesus asal Nazaret, di-DPO-kan Herodes (37-4 SM). Dia diungsikan ke Mesir. Kekerasan dan kepicikan kaum Farisi dicela. Mimpi revolusioner kaum Zelot ditolak. Perselingkuhan politik menyalibkan Sang Guru, padahal Dia membela nilai kemanusiaan dalam pelayanan. Salib menjadi simbol derita yang mendatangkan kekuatan dan pengharapan rohani.

Penderitaan dalam konteks ini dipandang sebagai bagian hakiki seluruh proses kebangkitan hidup rohani. Di balik salib ditemukan cahaya yang menerangi hidup manusia. Cahaya ilahi ini menyalurkan nilai rohani berupa kesetiaan, ketahanan, dan pengharapan ilahi. Maka, penderitaan rohani bukan akhir perjuangan hidup manusia, tetapi setapak jalan penting menuju pembaruan dan perbaikan rohani. Menyikapi derita nasional Kesadaran akan penderitaan nasional mengundang kita untuk mereformasi keadaan hidup orang kecil dalam konteks keadilan sosial. Sumber kekayaan alam dihabiskan tanpa memikirkan hak dasar generasi mendatang.

Alam rusak. Banjir, tanah longsor, panen gagal, dan bencana alam silih berganti. Hasil kekayaan alam tetap menjadi "misteri" bagi masyarakat lokal. Ironis. Di tengah penderitaan, para "wakil rakyat" sibuk memikirkan diri. Bagaimanakah kearifan sosial bagi bangsa kita? Sejumlah terobosan radikal diperlukan dalam mengatasi penderitaan rakyat. Pertama, tanpa solidaritas yang benar, tulus, dan mendasar, bangsa kita sulit keluar dari lingkaran krisis global.

Ketidakarifan dalam mengatur negara sudah saatnya ditinggalkan. Gaya ini menambah penderitaan rakyat. Kedua, berbagai skenario politik dalam law enforcement hanya akan menodai sistem dan jaringan kerja pemerintahan di pusat dan daerah. Privilege apakah yang dimiliki "orang-orang tertentu" sehingga mereka kebal hukum? Ketiga, kesehatian dalam membenahi bangsa tak bisa ditawar lagi. Penderitaan seorang anak bangsa adalah penderitaan seluruh bangsa. Sebagai bangsa yang potensial kita tetap optimistis, di balik penderitaan masih bersinar cahaya baru sebagai energi rohani untuk pembaruan sosial. Energi ini akan membebaskan kita dari egoisme, primordialisme, sektarianisme, dan eksklusivisme dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hanya, sopir, kondektur, dan pilot negara perlu lebih tegas dan lebih berani merombak dan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan yang sebenarnya sudah out of date dan menyengsarakan orang. Salib akan menjadi ringan jika dipikul bersama. Cruce glorior!

*) William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus Kompas, 05 April 2007 - kolom Opini

Tidak ada komentar: